Sabtu, 06 September 2014

Cerpen dari pengalaman. Tema : Persahabatan



Dua Sisi, Dua Sahabat
Oleh : Elma Nurmezarah
S
epi. Suasana yang sangat jarang ditemukan pada bangunan berumur tiga  tahun itu. Mela lebih memilih untuk mengutak-atik file di laptopnya daripada tidur siang. Matanya menatap lekat-lekat layar laptop yang ada di hadapannya. Setiap kali jari telunjuknya menekan tombol next, sebuah senyuman akan tersungging di bibirnya, bahkan sesekali ia tertawa kecil. Di layar laptopnya, tampak tiga siswi memakai rok biru tua berfoto ala mereka. Ya. Mela sedang melihat-lihat foto zaman SMP-nya dulu. Kata anak muda zaman sekarang, hal seperti itu disebut flashback-an.
Apa yang Mela lihat sekarang membuatnya menengok ke masa beberapa tahun yang lalu, saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sebuah masa dengan keinginan tak bertepi…
***
“Huh… membosankan!” Gumam Mela pada dirinya sendiri pada saat jam istirahat di sekolahnya. Ia sedang duduk sendiri di bangku depan kelasnya sembari menyeruput teh botolnya. Matanya menyapu pandangan yang ada di sekitarnya. Tidak ada yang menarik baginya, yang ia lihat hanya anak-anak berseragam putih biru tua yang lalu lalang di depan kelasnya. Beberapa dari mereka ada yang menyapa Mela, walaupun Mela hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.
Entah mengapa beberapa hari ini Mela terus memikirkan hidupnya yang biasa-biasa saja. Sekolah-les-belajar-menonton-tidur-dan seterusnya. Rutinitas yang membosankan. ‘Life is never flat’, begitu bunyi salah satu slogan iklan di TV. Mela jelas tidak setuju dengan kalimat itu. “Never flat apanya? Hidupku flat terus kok.” Begitu katanya.
“Woi Mel!” Teriakan itu sontak mengejutkan Mela. Dua orang siswi dari arah kantin berjalan menuju ke arah Mela kemudian duduk di sisi kanan-kiri Mela. Rifka dan Fia, dua sahabat Mela sejak masuk di SMP tersebut.
“Ada masalah ya Mel?” Fia menyadari ada kekalutan di wajah Mela.
“Tidak ada. Aku cuma merasakan kalau hidupku biasa-biasa saja. Aku kira masa-masa SMP akan membuat hidupku sedikit lebih berwarna. Tapi sepertinya tidak ada perubahan.” Jawab Mela dengan mata yang tetap menatap lurus ke depan.
“Bagus dong… masih lebih baik daripada menghadapi masalah.” Ada sedikit nada sedih di ucapan Fia. Matanya ikut menerawang. Mela menoleh ke Fia. Tiba-tiba Mela merasakan keganjilan di raut wajah Fia.
“Ya…” Rifka hanya mengiyakan dan akhirnya ikut-ikutan menatap hampa ke depan. Tapi sedetik kemudian, Rifka dengan nada ceria berkata,
“Pulang sekolah nanti kita makan baso yang di depan sekolah ya?”
Rifka memang penuh dengan keceriaan setiap harinya. Hampir tidak pernah Mela melihat Rifka tanpa gambaran senyuman di wajahnya. Fia sendiri adalah seorang sahabat yang dapat diandalkan. Ia pengertian, baik, dan bersikap sangat dewasa. Persahabatan mereka memang baru dua minggu, tapi mengalir dengan harmonis. Harmonis? Mungkin masih terlalu dini untuk menyebutnya seperti itu, tapi kenyataanlah yang berbicara.
***
Mela menyampirkan tas mungilnya di bahu. Hari ini, ia akan mengerjakan tugas kelompok bahasa Indonesia di rumah Fia. Kebetulan Mela, Fia, Rifka, serta dua teman lainnya berada dalam satu kelompok. Ini pertama kalinya Mela berkunjung ke rumah Fia, begitu pula dengan Rifka.
Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di rumah Fia. Sebuah rumah minimalis bertingkat dua di dalam sebuah kompleks yang sepi. Belum sempat Mela mengetuk pintu, Fia tiba-tiba muncul dari dalam rumahnya dan membuka pintu lebar-lebar.
“ Masuk Mel, yang lain belum datang.” Fia mempersilakan.
Mela melangkah masuk sambil mengucap salam. Ia memperhatikan isi rumah, tampak rapi, bersih, dan… agak… gelap. Sinar matahari yang seharusnya menyusup masuk melalui jendela, tertutup oleh gorden tebal.
‘Klik.’ Tiba-tiba lampu ruang tamu dinyalakan Fia.
“Maaf, agak gelap. Memang seperti ini biasanya.” Fia menjelaskan.
‘Biasanya?’ Pikir Mela dalam hati.
“Kok sepi Fia?” Mela akhirnya bertanya.
Belum sempat Fia menjawab, seseorang telah mengetuk pintu rumah Fia. Rifka dengan senyumannya telah berdiri di depan rumah Fia. Langkahnya ringan ketika dipersilakan masuk.
“Ngomong-ngomong, kok sepi Fia? Kamu sendirian?” Pertanyaan Mela yang belum sempat dijawab Fia tadi akhirnya kembali terlontar dari Rifka. Rupanya rumah Fia terlalu mudah untuk dikenal sebagai rumah ‘bisu’. Sejak tadi, Mela memang sudah merasakan ada sesuatu yang aneh.
“Nenek dan adikku sedang menemani Bu Ningsih menjaga ruko di kompleks sebelah, sedangkan kakakku harus berangkat kuliah hingga sore.” Jawab Fia. Ada keheningan sejenak, kemudian Fia mendesah pelan. Desahan yang masih bisa disentuh oleh indra pendengaran Mela. Fia kemudian berjalan perlahan, duduk di sofanya, dan mulai bercerita.
“Mungkin aku memang harus menceritakan ini Mel, Rif.” Fia memulai. Mela dan Rifka ikut duduk di samping Fia, bersiap mendengarkan apa yang akan diutarakan Fia.
“Sebenarnya aku juga tidak begitu paham apa yang terjadi. Tapi yang jelas, dua tahun yang lalu, kedua orangtuaku pergi ke Jakarta, meninggalkan kami. Aku, kakak, dan adikku, sehingga sekarang kami hanya tinggal bersama nenek.
Aku tahu mereka sangat menyayangi kami dan tidak mungkin tiba-tiba meninggalkan kami, aku yakin pasti ada suatu alasan. Ketika aku menanyakan pada kakakku alasan mereka pergi, kakakku mengatakan bahwa mereka ada masalah pekerjaan yang harus diselesaikan di sana.” Lanjutnya lirih.
“Itu sudah dua tahun, dan sekarang hampir tiga tahun mereka tidak kembali. Aku hanya bisa mendengar suara mereka dari ujung telefon tanpa bisa melihat wajah mereka. Kalau boleh cerita, aku selalu merasa kesepian.” Suara Fia terdengar tertahan. Air mata kini mulai tumpah dari kedua pelupuk matanya. Fia tidak bisa menahannya lagi. Mela dan Rifka merangkul Fia, seakan  mengisyaratkan ‘semuanya akan baik-baik saja.’
‘Tok… tok…’ tiba-tiba pintu rumah diketuk. Fia bangkit dari duduknya. Menyeka air matanya. Kemudian tergesa-gesa masuk ke dalam untuk membasuh wajahnya. Mela dan Rifka ikut bangkit. Mela berjalan menuju pintu, segera membukakan pintu. Rupanya kedua teman kelompoknya yang lain, Joan dan Gita sudah datang.
Beberapa menit kemudian Fia kembali dari dalam. Pikirannya sudah lebih baik dari sebelumnya. Joan dan Gita mulai mengeluarkan bukunya. Sepertinya cukup Mela dan Rifka yang mengetahui cerita Fia…
***
Rifka menanti-nanti kedatangan teman-temannya. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk tak sabar pegangan kursi di sampingnya. Rifka sengaja mengundang teman-temannya ke rumahnya untuk melanjutkan tugas kelompok mereka yang belum tuntas di rumah Fia kemarin. Sudah lima belas menit Rifka menunggu. Beberapa kali Rifka menoleh ke jendela tanpa gordennya itu. Beberapa kali pula Rifka menengadah ke arah jam dinding usangnya, bertatapan dengan waktu. Sebenarnya, Mela, Fia, Joan, dan Gita baru akan datang pukul empat sore dan itu masih lima belas menit dari waktu sekarang. Tapi Rifka memang selalu senang ketika teman-temannya akan datang ke rumahnya.
‘Ttak…!’ Seseorang menjitak kepala Rifka.
“Hahha… Sorry kak, sengaja.” Randi-adik Rifka-dengan wajah tanpa bersalah terus menggoda kakaknya. Rifka memprotes dan hendak membalas. Tapi Randi lebih gesit, ia berkilah dari serangan Rifka. Randi berlari ke arah pintu, tiba-tiba langkahnya tertahan. Mela, Fia, Joan, dan Gita rupanya sudah berdiri di ambang pintu. Rifka mempersilakan masuk. Samar terdengar Randi meminta maaf karena hampir menabrak Mela yang ada di hadapannya.
“Maaf ya, adikku memang selalu jahil.” Rifka merasa sedikit tidak enak dengan Mela, Fia, Joan, dan Gita.
“Ah, tidak apa-apa, Rif.” Jawab mereka hampir bersamaan.
Mela mengamati setiap sudut rumah Rifka. Mela hanya dapat menggambarkannya dengan satu kata. Sederhana. Berdinding kayu, beralas semen dan hanya terdiri dari tiga ruangan utama. Perabotnya pun sangat sederhana dan tua karena dimakan usia. Hati Mela miris melihatnya.
Rifka menggelar tikarnya, dan mereka semua duduk di atasnya sambil bergelut dengan tugas masing-masing. Tidak lama, Ibu Rifka muncul dari bagian belakang rumah. Di tangannya, ia membawa nampan dengan teh hangat dan beberapa potong kue di atasnya.
“Minum dulu nak. Maaf ya, harus kerja di tempat sempit seperti ini.” Ibu Rifka sedikit sungkan mengatakannya.
“Makasih. Tidak apa-apa kok, tante.” Mereka kembali menjawab hampir bersamaan.
Ibu Rifka melemparkan sebuah senyuman kepada mereka sebelum akhirnya kembali ke dalam.
“Sebenarnya rumah ini juga masih kontrakan.” Kata Rifka jujur. Ia sama sekali tidak terlihat malu ataupun canggung mengatakannnya. Ketika Mela memperhatikan wajah Rifka, ia bisa menebak jika Rifka hidup dalam lingkungan yang selalu mendukungnya, walaupun semuanya dibalut dengan kesederhanaan…
***
Sepulangnya dari rumah Rifka, Mela menghempaskan diri ke tempat tidurnya. Pikirannnya melayang ke kedua sahabatnya, Fia dan Rifka. Fia yang selalu merasa kesepian dan Rifka yang hidupnya sangat sederhana. Ia baru mengetahui kehidupan kedua sahabatnya. Terkadang memang ada beberapa hal yang tidak bisa kita duga dalam hidup dan kita tidak tidak bisa menduga siapa orang yang memiliki sisi tidak terduga itu.
Kini Mela dilingkupi perasaan sedih sekaligus malu. Sedih karena ikut merasakan kesedihan sahabatnya dan malu karena tidak mensyukuri apa yang ia punya dan yang telah Tuhan berikan padanya. Mela kemudian bergumam, “Sahabat kini mengajariku arti kata bersyukur.” Perlahan Mela mulai sadar…
***
“Allahuakbar… Allahuakbar…” Suara adzan shalat Ashar berkumandang. Seseorang menepuk-nepuk bahu Mela. Mela akhirnya terbangun dari tidurnya. Ia ketiduran. Tias, seorang teman kamarnya yang membangunkannya. Mela sekarang telah hidup berasrama di Sekolah Menengah Atasnya. Ya, sesuatu yang bahkan Mela sendiri tidak menduganya.
“Sudah Ashar Mel.”
“Oh. Iya-iya.” Mela menjawab sekenanya karena masih setengah sadar. Ia mengucek-ucek matanya. Laptopnya masih menyala dan file foto yang tadi masih terbuka. Tiba-tiba ia kembali teringat kedua sahabatnya. Mela lalu merogoh sakunya, mencari telefon genggamnya dan menulis sebuah pesan.
To : Rifka; Fia
“Semoga kalian baik-baik saja. Jangan lupa dengan sahabatmu yang sedang berjuang sendirian di sini…”
Kemudian Mela bersiap ke masjid. Ia menutup file dan laptopnya. Sama seperti file dan laptop itu, meskipun kisah Mela dengan kedua sahabatnya sekarang tertutup tetapi kisah itu tetap tersimpan baik dalam pikiran dan hatinya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar