Dua Sisi, Dua Sahabat
Oleh : Elma Nurmezarah
Oleh : Elma Nurmezarah
S
|
epi.
Suasana yang sangat jarang ditemukan pada bangunan berumur tiga tahun itu. Mela lebih memilih untuk
mengutak-atik file di laptopnya
daripada tidur siang. Matanya menatap lekat-lekat layar laptop yang ada di
hadapannya. Setiap kali jari telunjuknya menekan tombol next, sebuah senyuman akan tersungging di bibirnya, bahkan sesekali
ia tertawa kecil. Di layar laptopnya, tampak tiga siswi memakai rok biru tua
berfoto ala mereka. Ya. Mela sedang melihat-lihat foto zaman SMP-nya dulu. Kata
anak muda zaman sekarang, hal seperti itu disebut flashback-an.
Apa
yang Mela lihat sekarang membuatnya menengok ke masa beberapa tahun yang lalu,
saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sebuah masa dengan keinginan
tak bertepi…
***
“Huh…
membosankan!” Gumam Mela pada dirinya sendiri pada saat jam istirahat di
sekolahnya. Ia sedang duduk sendiri di bangku depan kelasnya sembari menyeruput
teh botolnya. Matanya menyapu pandangan yang ada di sekitarnya. Tidak ada yang
menarik baginya, yang ia lihat hanya anak-anak berseragam putih biru tua yang
lalu lalang di depan kelasnya. Beberapa dari mereka ada yang menyapa Mela,
walaupun Mela hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.
Entah
mengapa beberapa hari ini Mela terus memikirkan hidupnya yang biasa-biasa saja.
Sekolah-les-belajar-menonton-tidur-dan seterusnya. Rutinitas yang membosankan. ‘Life is never flat’, begitu bunyi salah
satu slogan iklan di TV. Mela jelas tidak setuju dengan kalimat itu. “Never flat apanya? Hidupku flat terus kok.” Begitu katanya.
“Woi
Mel!” Teriakan itu sontak mengejutkan Mela. Dua orang siswi dari arah kantin
berjalan menuju ke arah Mela kemudian duduk di sisi kanan-kiri Mela. Rifka dan
Fia, dua sahabat Mela sejak masuk di SMP tersebut.
“Ada
masalah ya Mel?” Fia menyadari ada kekalutan di wajah Mela.
“Tidak
ada. Aku cuma merasakan kalau hidupku biasa-biasa saja. Aku kira masa-masa SMP
akan membuat hidupku sedikit lebih berwarna. Tapi sepertinya tidak ada
perubahan.” Jawab Mela dengan mata yang tetap menatap lurus ke depan.
“Bagus
dong… masih lebih baik daripada menghadapi masalah.” Ada sedikit nada sedih di
ucapan Fia. Matanya ikut menerawang. Mela menoleh ke Fia. Tiba-tiba Mela
merasakan keganjilan di raut wajah Fia.
“Ya…”
Rifka hanya mengiyakan dan akhirnya ikut-ikutan menatap hampa ke depan. Tapi
sedetik kemudian, Rifka dengan nada ceria berkata,
“Pulang
sekolah nanti kita makan baso yang di depan sekolah ya?”
Rifka
memang penuh dengan keceriaan setiap harinya. Hampir tidak pernah Mela melihat
Rifka tanpa gambaran senyuman di wajahnya. Fia sendiri adalah seorang sahabat
yang dapat diandalkan. Ia pengertian, baik, dan bersikap sangat dewasa. Persahabatan
mereka memang baru dua minggu, tapi mengalir dengan harmonis. Harmonis? Mungkin
masih terlalu dini untuk menyebutnya seperti itu, tapi kenyataanlah yang
berbicara.
***
Mela
menyampirkan tas mungilnya di bahu. Hari ini, ia akan mengerjakan tugas
kelompok bahasa Indonesia di rumah Fia. Kebetulan Mela, Fia, Rifka, serta dua
teman lainnya berada dalam satu kelompok. Ini pertama kalinya Mela berkunjung
ke rumah Fia, begitu pula dengan Rifka.
Tidak
butuh waktu yang lama untuk sampai di rumah Fia. Sebuah rumah minimalis
bertingkat dua di dalam sebuah kompleks yang sepi. Belum sempat Mela mengetuk
pintu, Fia tiba-tiba muncul dari dalam rumahnya dan membuka pintu lebar-lebar.
“
Masuk Mel, yang lain belum datang.” Fia mempersilakan.
Mela
melangkah masuk sambil mengucap salam. Ia memperhatikan isi rumah, tampak rapi,
bersih, dan… agak… gelap. Sinar matahari yang seharusnya menyusup masuk melalui
jendela, tertutup oleh gorden tebal.
‘Klik.’
Tiba-tiba lampu ruang tamu dinyalakan Fia.
“Maaf,
agak gelap. Memang seperti ini biasanya.” Fia menjelaskan.
‘Biasanya?’ Pikir Mela dalam hati.
“Kok
sepi Fia?” Mela akhirnya bertanya.
Belum
sempat Fia menjawab, seseorang telah mengetuk pintu rumah Fia. Rifka dengan
senyumannya telah berdiri di depan rumah Fia. Langkahnya ringan ketika
dipersilakan masuk.
“Ngomong-ngomong,
kok sepi Fia? Kamu sendirian?” Pertanyaan Mela yang belum sempat dijawab Fia
tadi akhirnya kembali terlontar dari Rifka. Rupanya rumah Fia terlalu mudah
untuk dikenal sebagai rumah ‘bisu’. Sejak tadi, Mela memang sudah merasakan ada
sesuatu yang aneh.
“Nenek
dan adikku sedang menemani Bu Ningsih menjaga ruko di kompleks sebelah,
sedangkan kakakku harus berangkat kuliah hingga sore.” Jawab Fia. Ada
keheningan sejenak, kemudian Fia mendesah pelan. Desahan yang masih bisa
disentuh oleh indra pendengaran Mela. Fia kemudian berjalan perlahan, duduk di
sofanya, dan mulai bercerita.
“Mungkin
aku memang harus menceritakan ini Mel, Rif.” Fia memulai. Mela dan Rifka ikut
duduk di samping Fia, bersiap mendengarkan apa yang akan diutarakan Fia.
“Sebenarnya
aku juga tidak begitu paham apa yang terjadi. Tapi yang jelas, dua tahun yang
lalu, kedua orangtuaku pergi ke Jakarta, meninggalkan kami. Aku, kakak, dan
adikku, sehingga sekarang kami hanya tinggal bersama nenek.
Aku
tahu mereka sangat menyayangi kami dan tidak mungkin tiba-tiba meninggalkan
kami, aku yakin pasti ada suatu alasan. Ketika aku menanyakan pada kakakku
alasan mereka pergi, kakakku mengatakan bahwa mereka ada masalah pekerjaan yang
harus diselesaikan di sana.” Lanjutnya lirih.
“Itu
sudah dua tahun, dan sekarang hampir tiga tahun mereka tidak kembali. Aku hanya
bisa mendengar suara mereka dari ujung telefon tanpa bisa melihat wajah mereka.
Kalau boleh cerita, aku selalu merasa kesepian.” Suara Fia terdengar tertahan.
Air mata kini mulai tumpah dari kedua pelupuk matanya. Fia tidak bisa
menahannya lagi. Mela dan Rifka merangkul Fia, seakan mengisyaratkan ‘semuanya akan baik-baik
saja.’
‘Tok…
tok…’ tiba-tiba pintu rumah diketuk. Fia bangkit dari duduknya. Menyeka air
matanya. Kemudian tergesa-gesa masuk ke dalam untuk membasuh wajahnya. Mela dan
Rifka ikut bangkit. Mela berjalan menuju pintu, segera membukakan pintu. Rupanya
kedua teman kelompoknya yang lain, Joan dan Gita sudah datang.
Beberapa
menit kemudian Fia kembali dari dalam. Pikirannya sudah lebih baik dari
sebelumnya. Joan dan Gita mulai mengeluarkan bukunya. Sepertinya cukup Mela dan
Rifka yang mengetahui cerita Fia…
***
Rifka
menanti-nanti kedatangan teman-temannya. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk tak sabar
pegangan kursi di sampingnya. Rifka sengaja mengundang teman-temannya ke
rumahnya untuk melanjutkan tugas kelompok mereka yang belum tuntas di rumah Fia
kemarin. Sudah lima belas menit Rifka menunggu. Beberapa kali Rifka menoleh ke
jendela tanpa gordennya itu. Beberapa kali pula Rifka menengadah ke arah jam
dinding usangnya, bertatapan dengan waktu. Sebenarnya, Mela, Fia, Joan, dan Gita
baru akan datang pukul empat sore dan itu masih lima belas menit dari waktu
sekarang. Tapi Rifka memang selalu senang ketika teman-temannya akan datang ke
rumahnya.
‘Ttak…!’
Seseorang menjitak kepala Rifka.
“Hahha…
Sorry kak, sengaja.” Randi-adik
Rifka-dengan wajah tanpa bersalah terus menggoda kakaknya. Rifka memprotes dan
hendak membalas. Tapi Randi lebih gesit, ia berkilah dari serangan Rifka. Randi
berlari ke arah pintu, tiba-tiba langkahnya tertahan. Mela, Fia, Joan, dan Gita
rupanya sudah berdiri di ambang pintu. Rifka mempersilakan masuk. Samar
terdengar Randi meminta maaf karena hampir menabrak Mela yang ada di
hadapannya.
“Maaf
ya, adikku memang selalu jahil.” Rifka merasa sedikit tidak enak dengan Mela,
Fia, Joan, dan Gita.
“Ah,
tidak apa-apa, Rif.” Jawab mereka hampir bersamaan.
Mela
mengamati setiap sudut rumah Rifka. Mela hanya dapat menggambarkannya dengan
satu kata. Sederhana. Berdinding kayu, beralas semen dan hanya terdiri dari
tiga ruangan utama. Perabotnya pun sangat sederhana dan tua karena dimakan
usia. Hati Mela miris melihatnya.
Rifka
menggelar tikarnya, dan mereka semua duduk di atasnya sambil bergelut dengan
tugas masing-masing. Tidak lama, Ibu Rifka muncul dari bagian belakang rumah.
Di tangannya, ia membawa nampan dengan teh hangat dan beberapa potong kue di
atasnya.
“Minum
dulu nak. Maaf ya, harus kerja di tempat sempit seperti ini.” Ibu Rifka sedikit
sungkan mengatakannya.
“Makasih.
Tidak apa-apa kok, tante.” Mereka kembali menjawab hampir bersamaan.
Ibu
Rifka melemparkan sebuah senyuman kepada mereka sebelum akhirnya kembali ke
dalam.
“Sebenarnya
rumah ini juga masih kontrakan.” Kata Rifka jujur. Ia sama sekali tidak
terlihat malu ataupun canggung mengatakannnya. Ketika Mela memperhatikan wajah
Rifka, ia bisa menebak jika Rifka hidup dalam lingkungan yang selalu
mendukungnya, walaupun semuanya dibalut dengan kesederhanaan…
***
Sepulangnya
dari rumah Rifka, Mela menghempaskan diri ke tempat tidurnya. Pikirannnya
melayang ke kedua sahabatnya, Fia dan Rifka. Fia yang selalu merasa kesepian
dan Rifka yang hidupnya sangat sederhana. Ia baru mengetahui kehidupan kedua
sahabatnya. Terkadang memang ada beberapa hal yang tidak bisa kita duga dalam
hidup dan kita tidak tidak bisa menduga siapa orang yang memiliki sisi tidak
terduga itu.
Kini
Mela dilingkupi perasaan sedih sekaligus malu. Sedih karena ikut merasakan
kesedihan sahabatnya dan malu karena tidak mensyukuri apa yang ia punya dan
yang telah Tuhan berikan padanya. Mela kemudian bergumam, “Sahabat kini mengajariku
arti kata bersyukur.” Perlahan Mela mulai sadar…
***
“Allahuakbar…
Allahuakbar…” Suara adzan shalat Ashar berkumandang. Seseorang menepuk-nepuk
bahu Mela. Mela akhirnya terbangun dari tidurnya. Ia ketiduran. Tias, seorang
teman kamarnya yang membangunkannya. Mela sekarang telah hidup berasrama di
Sekolah Menengah Atasnya. Ya, sesuatu yang bahkan Mela sendiri tidak
menduganya.
“Sudah
Ashar Mel.”
“Oh.
Iya-iya.” Mela menjawab sekenanya karena masih setengah sadar. Ia mengucek-ucek
matanya. Laptopnya masih menyala dan file
foto yang tadi masih terbuka. Tiba-tiba ia kembali teringat kedua sahabatnya.
Mela lalu merogoh sakunya, mencari telefon genggamnya dan menulis sebuah pesan.
To : Rifka; Fia
“Semoga kalian baik-baik saja. Jangan lupa
dengan sahabatmu yang sedang berjuang sendirian di sini…”
Kemudian
Mela bersiap ke masjid. Ia menutup file
dan laptopnya. Sama seperti file dan
laptop itu, meskipun kisah Mela dengan kedua sahabatnya sekarang tertutup
tetapi kisah itu tetap tersimpan baik dalam pikiran dan hatinya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar